Karena rasa penasaran yang cukup tinggi, akhirnya, saya, Cherie, Neysa, dan Ayu,menonton film ini kemarin malam di Theathe 2, Paragon, Semarang. Untuk mencegah flu menjalar, beberapa jam sebelumnya sudah sempat minum obat, jadi malamnya sudah fit (bahkan sepertinya flunya hilang, horeeeeee). Saat memasuki gedung bioskop dan melangkah naik menuju tempat duduk paling atas, kami diiringi dengan dialog Rey Sahitapy yang bilang, “sebentar ya …” dan sekian detik kemudian ada bunyi sound effect senjata yang membuat penghuni gedung bioskop lainnya, sedikit menjerit kaget.
Setelah sampai di tujuan, kamipun duduk manis dan ‘dudukmanis’ XD menonton film itu. Benar saja, di sepanjang durasi, penonton hampir tidak dibiarkan mengambil napas mereka sendiri saat melihat lantai demi lantai yang pasukan khusus sambangi ini berisi beraneka jenis pertempuran yang hampir semuanya ‘sadis’. Saya juga sepertinya senang melihat ketiga teman saya pada ketakutan sementara saya duduk santai dan memajukan badan demi lebih mencoba menikmati film itu. Kata mereka, “walah iki jane ngancani Mbak Nana tho iki, (terjemahan: walah ini sebenarnya malah nemenin Mbak Nana doang (untuk nonton film the raid) ini)” Hahahaha. Bahkan, saat ada rombongan penonton yang datangnya telat, yang salah satu rombongannya berjenis kelamin laki-laki ini, yang lalu duduk di sebelah saya itu, sampai mengangkat kedua kakinya dan membenamkan kepalanya kebalik dengkulnya. Hahahahahahaha
Mungkin karena saya ‘terbiasa’ melihat adegan sadis yang ‘slow’ (maksudnya disini adalah adegan yang pasti sanggup membuat saya benar-benar takut, mual, dan benar-benar merasakan apa yang pemainnya rasakan di film itu) adegan sadis yang disuguhkan The Raid ini tergolong biasa saja. Mungkin karena adegan itu berlangsung cepat, tap! tap! tap!, jleb! Jleb! Jleb!, Dor! Bret! Dor!, Crottt! Blarrr! Crottt!, dll, dsb, dst, I’m watching it sambil ngunyah roti loh. Hahahahahaha.
Dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun swasta di negeri ini, Iko Uwais, pemeran utama film The Raid mengatakan bahwa film ini adalah film fiksi belaka. Maka demi meyakinkan para penontonnya akan kefiksian film ini, salah satu caranya adalah dengan melabeli satuan kepolisian ini hanya dengan sebutan ‘pasukan khusus’. Tidak ada embel-embel ‘SWAT’, ‘CSA’, ‘Anti Teror’, dll. Sayangnya, kefiksian tersebut tidak begitu sampai di mata masyarakat yang menonton dikarenakan seragam yang dikenakan pasukan khusus tersebut masih berbau-bau polisi anti teror buatan dalam negeri.
Terlebih, dalam segi cerita, film the raid masih tergolong film yang sangat biasa dibandingkan dengan film drama action/atau action lainnya. Moral of the story juga minim. Jika ingin membandingkan dengan film buatan negeri Asia lain, maka film the Raid masih kalah jauh dibandingkan dengan Ong Bak, misalnya. Mungkin karena The Raid dibuat terlalu terburu-buru (?) sehingga karakter para pemainnya kurang dieksplor dengan lebih baik. Logika film fiksinya juga,menurut saya, masih kurang masuk akal. Hanya suguhan kekerasan dengan tujuan pencapaian yang gregetannya anti klimak. Acting para pemeran utama, pemeran pembantu, pemeran tukang palak, preman, udah oke. Hanya sayang dialog dan ceritanya saja.
But, well, tetap, setiap film punya sisi kelebihannya. Dan salah satu kelebihannya adalah penghargaan yang didapat oleh The Raid. Mungkin penghargaan tersebut didapatkan berdasar keterpesonaan mereka (orang luar sana) terhadap ilmu bela diri Indonesia, pencak silat, yang menurut mereka tergolong baru, langka, dan luar biasa, dan, otomatis sayapun patut berbangga karenanya. Tapi apa pun itu, menurut saya, penghargaan dan sorotan media International terhadap film The Raid ini pasti merupakan peluang yang sangat besar bagi para filmmaker Indonesia untuk dapat menghasilkan film-film berkualitas lain yang lebih baik, yang pada akhirnya nanti bisa lebih membanggakan Indonesia, diputar di seluruh dunia, termasuk Hollywood , dan masuk dalam jajaran film-film tak terlupakan dalam sejarah perfilman dunia.
Acting: 4/5*
Scenario: 1 1.2/5*
Directing: 4/5*
DOP: 4/5*
Editing: 4/5*
Ending: 2/5*
jadi overall berapa nilainya tuh, Na?
LikeLike
@Dani: 3 kali yah. huehue
LikeLike
weleh pada posting the raid..
LikeLike
mmm…. nonton enggak yaa~
LikeLike
Aku sampe ga sempat ngunyah d’crepes yg udah dibeli pas nonton film ini.haha
LikeLike
Absen baca ajah ya Na.. *ngacir*
LikeLike
kalo saya memberikan nilai 4 dari lima bintang. solnya fokus saya pada seni bela dirinya. hehehe…
LikeLike
Klo menurut aku, koreo actionnya cantik banget..natural..Banyak kejutan :DAda bbrpa teknik membunuh yg ‘berseni’…Aku banggaaa pencak silat bs disajikan dgn ‘indah’ dan diterima di kancah internasional huhu. Banyak memorable scene pokonya..Yahh klo dr segi alur cerita emg msh kurang tp krn dari rumah ekspektasi nontonnya adl action, jd kekurangan itu termaafkan 🀠krn ditutupi prtunjukan pencak silat yg memukau.Skedar tips buat yg mau nonton, klo brharap byk soal cerita dan acting dr film ini mgkn bakal kecewa. Tp coba fokus pd actionnya, ga bakal kecewa krn The Raid emg sedang memperkenalkan silat. Overall bagus..Film action Holywood jarang ada yg sebrutal dan sevulgar ini :DWlopun msh ada kekurangan dsna sni..Tetep aku kasi standing ovation buat film ini…Baru kali ini liat film action keren tanpa teks hehe..Oya, ending yg agak ngegantung mgkn krn ini film trilogi..Ga sabaaarr nunggu sekuelnya hihi..Dan ga lupa aku kasi bintang empat deh buat The Raid.. đź‰
LikeLike
@Mbak Tin: Iya 🙂
LikeLike
@Dek Pera: nonton aja, dek. Bawa makanan yang banyak yahhh :I
LikeLike
@Yana: Kasih ke aku aja,hahahaha *dikeplak*
LikeLike
@Mas Harri: ada penilaian khusus koregrafernya gak sih di film itu? Atau koreografi termasuk di dalam sub directing, dari directornya yah? Kalau itu memang keren. Udah termasuk yang aku kasih bintang empat kan berarti?Cuma memang kalo untuk ujian kesadisan, sadisnya film itu, biasa. 🙂
LikeLike
jadi nonton malam ini, Insya Allah, bareng The kontrakans đź€
LikeLike
@Cherie: Shaolin soccer juga action kan? 🙂 Ong Bak juga action. Apalagi film super lebay yang masih miliknya Stephens Chow yaitu Kungfu Hustle, yang bisa membuat ngakak plus kagum dan sampai sekarang, diputer ulang pun enggak bosen. Tapi oke, selain karena ilmu bela diri,Stephen masih menggunakan unsur teknologi.Tapi bagaimana kalau dibandingkan dengan Ong Bak? The Raid dan Ong Bak sama-sama tanding sama pedang, golok, parang, lawan kemampuan bela diri yang juga berniat memperkenalkan budaya masing-masing. Acungin jempol empat, sepuluh bahkan untuk unsur yang satu itu. Tapi tetep, next time, kalau film ini jadi di-re-make sama hollywood, perlu ada perbaikan skenario cerita, alur, konflik yang tajam yang oke yang pasti boleh aja mempertahankan kejutan mereka sampai akhir, agar film the Raid enggak hanya keren sesaat habis itu menguap begitu saja dan bahkan malah tenggelam karena orang luar bisa membuat film itu jadi ‘lebih baik’ dalam hampir segala-gala unsurnya.
LikeLike
anak saya juga manas2in supaya saya mau nonton film ini. Tapi…terimakasih deh. Apalagi setelah membaca rewiewnya di sini. Ada istilah “membunuh yg berseni” segala. Tfs…mungkinnya cocoknya memang buat anak muda ya
LikeLike
Cadas we, Na. Kan-ca-ku!Btw, nonton o juga Shoot ‘Em Up. Meski alur cerita tidak terlalu penting tapi tetap dijaga dan digarap lumayan baik. Karakter tokohnya juga.
LikeLike
Apaaaah..? Trilogi?Ngumpet..
LikeLike
komennya sama dengan Roger Ebert …
LikeLike
hehehehe.Martial Art namanya,Dokter. XD.
LikeLike
*sogok nganggo cireng*
LikeLike
UDAH! :))Pemeran utamanya memang ‘sarap’ dan super ‘nekat’. :))Gak takut mati bener.:))
LikeLike
Hue? Endhi trilogi? Sopo sing ngomong?*celingukan*
LikeLike
Ini? –>>> http://blogs.suntimes.com/ebert/2012/03/hollywoods_highway_to_hell.html
LikeLike
Wah, nek nonton Shoot ‘Em Up nganti ngakak berati tenan… kan-ca-ku! *awur-awuri bumbu cilok*
LikeLike