Saat kecil, orang-orang dewasa di sekitarku mengajariku menggunakan tangan kanan untuk melakukan hal-hal yang baik; menulis, menggambar, berjabat tangan, makan, minum, membantu orang lain. Sedangkan tangan kiriku digunakan untuk melakukan hal-hal yang kotor seperti membersihkan kotoran dari diri sendiri dan memungut sampah-sampah dan atau menyentuh, memegang sesuatu yang menjijikkan. Aku akan dimarahi dan bahkan dibentak jika aku ketahuan makan, berjabat tangan, minum, atau mengulurkan sesuatu menggunakan tangan kiri.
Ajaran itu merasuk ke dalam benak dan pikiranku hingga ketika aku melihat teman sepantaranku mengerjakan segala sesuatu menggunakan tangan kiri, aku mengganggap dia salah dan tidak baik. Kurasa aku begitu sakleknya dengan urusan kebaikan dan ketidakbaikan temanku hanya dari melihat hal-hal yang berkaitan dengan tangan kiri dan tangan kanan itu.
Belasan tahun kemudian, masih dengan keyakinan antara urusan tangan baik dan tidak baik, aku bertemu dengan teman yang memiliki teman lain yang bertangan kidal. Mereka, kawan-kawan bertangan kidal ini melakukan segala sesuatunya yang biasa dilakukan orang “normal” dengan tangan kirinya, dan itu membuat mereka mengalami masalah di antara orang-orang bertangan kanan. Orang tua, guru, dan teman-temannya yang meyakini tangan kiri adalah tangan tidak baik, memaksanya untuk berubah haluan. Atau, ‘tindakan’ paling keji yang anak remaja lakukan adalah mengolok-olok dan mengucilkannya.
Dewasa ini aku baru tahu,
Orang kidal lebih mudah ketakutan dan trauma daripada orang yang menggunakan tangan kanan. [Journal of Traumatic Stress],
bahkan Raja Inggris King George VI-aku menemukan artikelnya di google- yang dipaksa ‘normal’ menggunakan tangan kanan padahal dia kidal, bisa menjadi gagap dan dyslexia. Mungkin saat remaja itu pun aku tetap saja tidak peduli dan tidak sudi mencari tahu apa itu dyslexia. Aku hanya tahu bahwa pengguna tangan kanan itu baik, dan kiri itu tidak baik. Titik.
Pernah membayangkan saat dengan percaya dirinya aku sangat meyakini bahwa tangan kanan itu baik dan lalu mempertanyakan urusan tangan kepada orang yang dulunya terbiasa menggunakan tangan kanannya dan kemudian mengalami musibah hingga seluruh syaraf di tangan kanannya tak bekerja dan memaksa tangan kirinya untuk bekerja demikian kerasnya untuk berkarya?
Jika usia bisa digambarkan dengan perumpamaan sebuah tapakan anak tangga, sekarang aku telah berada di sekian puluh lantai di atas gedung. Aku tak hanya melihat dunia itu berwarna putih yang saat aku kecil aku melihatnya putih. Aku tak hanya melihat warna hitam yang saat aku remaja aku melihatnya hitam. Aku sekarang melihat keduanya di atas lantai ini. Putih dan hitam. Dan warna lain yang berbeda yang sebelumnya belum pernah kulihat. Namun tentu saja ini bukan persoalan benar atau salah. Ini soal cara memandang dan menerjemahkan hidup. Kupikir tadinya aku pintar dan pandai menerjemahkan semua itu karena aku ‘benar’. Tak ada yang salah dengan ajaran orang-orang dewasa terhadapku sewaktu aku dulu masih kecil. Itu baik. Namun saat dewasa ini, aku menambahinya dengan empati dan toleransi. Pun setelah banyak bertemu dan berkenalan dengan orang-orang, dan melihat dunia lebih luas, aku merasa aku masih perlu belajar untuk menerjemahkan sesuatu sebelum mengutarakan apa yang kuyakini benar, termasuk urusan tangan ini.
Aku masih perlu belajar.
Perlu banyak belajar.
* * *
To a brave man, good and bad luck are like his left and right hand. He uses both.
– St Catherine of Siena